Kamis, 20 Desember 2012

MASALAH KASUS MARSINAH


1. Penjelasan tentang Kasus Marsinah :
a.       Latar Belakang
       Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
       Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
       Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
       Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
       Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.
       Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993.
b.  Kematian Marsinah
       Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
c.        Proses Penyelidikan dan Penyidikan
       Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
       Delapan petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
       Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
       Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
       Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
       Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
d.       Temuan Komnas HAM
       Tim Komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus
pembunuhan Marsinah. Salah satu anggota Komnas HAM Irjen Pol. (Purn) Koesparmono Irsan mengemukakan, agar kasus itu bisa terungkap harus ada keterbukaan semua pihak dengan berlandaskan hukum, bukan masalah politik. Ia beranggapan, jika masalah itu dibuka secara tuntas maka kredibilitas siapa saja akan terangkat. "Yang jelas Marsinah itu dibunuh bukan mati dhewe, tentu ada pelakunya, mari kita buka dengan legawa. Makin terbuka sebetulnya kredibilitas siapa saja makin terangkat. Tidak ada keinginan menjelekkan yang lain," katanya. Ia mengakui bahwa kasus yang sudah terjadi tujuh tahun lalu itu hampir
mendekati kedaluwarsa untuk diproses secara hukum. Kendala yang dihadapi kepolisian saat ini adalah masalah pengakuan dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan politiknya. Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang ada adalah orang yang melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada solidaritas politik," katanya.
       Temuan lain Komnas HAM yaitu dalam proses penangkapan dan penahanan para terdakwa dalam Kasus Marsinah itu melanggar hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran yang disebutnya bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya penganiayaan baik fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa dan ditindak.
e. Upaya Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Marsinah
       Setelah melalui proses kasasi di MA yang menghasilkan keputusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan masyarakat luas bahkan internasional melalui ILO, yang senantiasa menuntut pemerintah RI untuk tetap berupaya mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO dikenal dengan sebutan kasus 1713.
Komitmen pemerintah RI dalam mengusut tuntas kasus tersebut pada awalnya diperlihatkan pada saat pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid yang memberikan perintah kepada Kapolri agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna mengungkap Kasus Marsinah. Begitu juga pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki komitmen yang sama untuk tetap berupaya menuntaskan Kasus Marsinah. Namun, sampai dengan saat ini, Kasus Marsinah belum terungkap.
2.       Kasus Marsinah  merupakan Pelanggaran HAM.
A. Dasar Yuridis
a. Pasal 1 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
    Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan        
    keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
    anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,   
    hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan   
    harkat dan martabat manusia.
b.  Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999
     Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau   
     kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja,
     atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
     membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
     orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
     dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan   
     benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
c.  Pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
    Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan    
    taraf kehidupannya.
B.       Fakta – fakta Kejadian
       Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
       Berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Kasus Marsinah tersebut oleh Polri termasuk temuan Komnas HAM, didapatkan fakta bahwa kematian Marsinah diduga keras dilatarbelakangi tindakan Marsinah yang sangat vokal saat unjuk rasa di PT CPS dalam rangka menuntut kenaikan gaji buruh dan keberaniannya menentang perlakuan aparat TNI AD di Kodim Sidoarjo yang secara sewenang-wenang dan tanpa hak meminta beberapa buruh PT CPS menandatangani surat PHK yang pada akhirnya menyebabkan Marsinah dibunuh oleh pihak tertentu untuk meredam aksi buruh di beberapa tempat lainnya di Indonesia saat itu.
C.       Laporan Komnas HAM Tahun 2007 (hal. 37)
Pembunuhan terhadap pegiat HAM adalah pelanggaran HAM yang tergolong serius, oleh karena itu ketidaktuntasan kasus ini akan menjadi bukti betapa lemahnya pemerintah di kalangan intelejen dan pro status quo untuk mengungkap kasus-kasus pembunuhan para pembela HAM seperti kasus aktivis buruh Marsinah, wartawan Udin, aktivis Aceh Jaffar Siddik, hakim Syaifuddin dan Theys H. Eluay dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.
D.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang definisi HAM pada pasal 1 butir ke-1 jo pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999, dikaitkan dengan dengan adanya fakta kejadian tersebut diatas, serta didukung oleh pernyataan Komnas HAM dalam laporan tahunannya pada tahun 2007, maka pembunuhan terhadap Marsinah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun bukan termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (vide pasal 7 UU No. 26 tahun 2000), sebagaimana halnya dalam kasus pembunuhan aktifis HAM lainnya yaitu antara lain Munir yang dalam nampak dalam proses hukumnya dengan diterapkannya pasal-pasal dalam KUHP tentang pembunuhan, bukan pasal-pasal dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
E.       Proses Pengajuan Novum
Apabila ada Novum (Bukti Baru) dalam kasus Marsinah, dapat diajukan melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang prosesnya dilakukan dengan cara permintaan PK tersebut diajukan pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri (PN) yang memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama. Selanjutnya PK tersebut diteruskan oleh PN kepada Mahkamah Agung (MA) (vide pasal 264 KUHAP), dengan catatan bahwa jangka waktu daluwarsa dalam kasus dimaksud belum terlampaui / lewat, dalam Kasus Marsinah ini, mengingat pasal KUHP dengan ancaman hukuman terberat yang diterapkan yaitu pasal 340 KUHP, yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup, maka jangka waktu daluwarsanya adalah 18 (delapan belas) tahun (vide pasal 78 butir 1 ke-4 KUHP), yang jatuh pada tanggal 9 Mei 2011.
Pemohon yang dapat mengajukan PK tersebut, apabila berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu hanya terpidana atau ahli warisnya, itu pun hanya berlaku terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewjisde), kecuali putusan bebas (vrijspark) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Sehingga, apabila hanya mengacu secara eksplisit terhadap ketentuan dimaksud, maka PK dalam kasus dimaksud tidak dapat dilakukan    karena putusan terhadap para terdakwa adalah bebas dari segala dakwaan dan permohonan PK pun tidak diperkenankan dilakukan oleh Jaksa / Penuntut Umum.
Namun, apabila merujuk pada yurisprudensi yang ada yaitu putusan MA No. 55 PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober 1996, yang “menerima secara formal” permintaan PK oleh Jaksa / Penuntut Umum dalam kasus Muchtar Pakpahan yang juga digunakan oleh Kejaksaan Agung RI pada pengajuan PK dalam  Kasus Munir atas nama terdakwa Pollycarpus dengan putusan PK bahwa terdakwa Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir sebagaimana dimaksud dalam pasal 340 KUHP, dimana putusan tersebut membatalkan putusan MA No. 1185 K/Pid/2006, tanggal 3 Oktober 2006, yang hanya menghukum terdakwa Pollycarpus karena bersalah telah melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu dan membebaskannya dari dakwaan melanggar pasal 340 KUHP.
Disamping Itu, dalam PK Kasus Munir, Jaksa / Penuntut Umum juga menggunakan dasar yuridis dari ketentuan pasal 23 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada MA, yang dalam hal ini diartikan oleh Kejaksaan Agung RI bahwa pihak-pihak yang bersangkutan tersebut termasuk Jaksa / Penuntut Umum demi kepentingan umum.
Oleh karena itu, dalam Kasus Marsinah pun, Jaksa / Penuntut Umum dapat mengajukan PK.
Ø Referensi :
2. M. Yahya Harahap, S.H. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;  
     pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi dan peninjauan
     kembali.Penerbit Sinar Grafika/Edisi Kedua Cetakan Keenam 2005/Jakarta.
3.  UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
4. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

(sumber : id.wikipedia.org , dan lainnya )

Mengenai Mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM(Hak asasi Manusia) Di Indonesia

Latar belakang masalah
Persoalan pelanggaran HAM merukan persoalan yang sering terjadi kapan saja dan dimana saja. Setiap hari, minggu, dan setiap bulan persoalan pelanggaran HAM terjadi dalam berbagai bentuk dan di berbagai tempat yang menuntut partisipasi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam hal ini yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah adalah polisi dibidang penyidikan, jaksa dibidang penuntutan, dan hakim dalam hal member keputusan. Ketiga penegak hukum tersebut disebut juga catur wangsa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pelanggaran HAM yang terjadi setiap hari dikalangan masyarakat bisa diselesaikan dengan berbagai cara, baik dengan cara diselesaikan tanpa campur tangan pemerintah yang disebut juga dengan non litigasi, maupun dengan cara melibatkan pemerintah atau yang disbut uga dengan litigasi. Secara non litigasi bisa terjadi dengan cara rekonsiliasi, negosiasi, musyawarah dan perdamaian atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan secara litigasi tahap pertama dilakukan penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, dan sampai putusan di pengadilan.

Rumusan masalah
Dari gambaran diatas dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas atau yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini meliputi beberapa masalah, antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ?
2. Cara-cara apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikannya ?
3. Bagaimana cara beracara di depan pengadilan ?




Pola penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia
Bentuk penyelesaian kasus atau sengketa secara umum dapat di bagi menjadi dua cara, yaitu:
1. Litigasi
2. Non litigasi
Penyelesaian hukum secara litigasi adalah penyelesaian hukum melalui jalur pengadilan baik itu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha Negara, dan pengadilan militer tergantung perkara apa yang diaujukan ole pihak yang bersengketa. Dalam bukunya Agnes M.toar yang berjudul seri dasar-dasar hukum ekonomi 2 arbitrase di Indonesia menyebutkan bahwa litigasi merupakan suatu proses gugatan suatu konflik yang diriutalisasikanyang menggantikan konflik sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Aturannya sudah dimuat dalam aturan khusus dalam undang-undang materiil dan dalam undang-undang formil. Sedangkan non litigasi merupakan proses penyelesaian perkara atau kasus diluar pengadilan. Penyelesaiannya bisa terjadi melalui cara mediasi, konsiliasi dan bisa juga terjadi dengan kesepakatan bersama untuk mengakhiri persengketaan antar kedua belah pihak.
Sifat penyelesaian sengketa litigasi dan non litigasi
1. Sifat litigasi
a. Prosesnya makan waktu lama
b. Terbuka untuk umum (kecuali kasus khusus : misalnya pelecehan seksual, kasus anak)
c. Penerapan hukum acaranya bersifat mengikat
2. Sifat non litigasi
a. Penyelesaian sengketa bisa lebih cepat
b. Konfidensial (tertutup)
c. Tidak formal
d. Penyelesaiannya oleh tim yang professional
e. Putusan final dan binding (mengikat)
Penyelesaian sengketa secara litigasi
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Melalui jalur ini keputusan akan terjamin dapat memuaskan hati kedua belah pihak, karena pengadilan bersikap adil dan objektif dalam memberi keputusan. Selain itu pengadilan dalam memvonis seseorang bersalah dan menghukum dapat menimbulkan efek jera . Pengadilan juga mandiri independen dalam memberikan keputusan dan tanpa intimidasi dan paksaan dari pihak lain dalam memberikan keputusan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan disebut juga dengan pelibatan pihak ketiga , pihak ketiga inilah yang disebut dengan pengadilan.
Penyelesaian sengketa secara non litigasi
Cirri utama dalam penyelesaian melalui jalur non litigasi atau non adjudikasi adalah kesepakatan pihak-pihak yang berperkara. Apabila kedua belah pihak sudah sepakat maka perkara tersebut selesai.
Cara penyelesaian sengketa alternatif menurut UU No.30 tahun 1999 adalah :
1. Arbitrase
Arbitrase merupakan bentuk lain dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat. Para pihak, baik yang mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami sengketa yang tidak mampu diselesaikan melalui musyawarah, sepakat untuk menyerahkan sengjetanya kepada pengambil keputusan privat dengan cara-cara yang mereka tentukan bersama. Dengan cara ini para pihak menghindari penyelesaaian sengketa melalui peradilan umum.
2. Negosiasi
Dalam kamus lengkap bahasa terkini negosiasi merupakan tawar menawar melalui perundingan demi mencapai kesepakatan. Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.

3. mediasi
Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka.
4. Konsiliasi
Konsiliasi Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka. Konsiliasi dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan .
5. pendapat ahli
pendapat ahli adalah pendapat seseorang yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Ahli disini merupakan ahli dibidang hukum, orang yang mampu menguasai seluk-beluk hukum .

Jenis dan penyelesaian sengketa melalui forum internasional
Penyelesaian sengketa internasional terdapat dalam pasal 33 piagam PBB yang merupakan sumber semua sengketa HAM. Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa intenasional, yaitu sebagai berikut :
1. Negosiasi (dalam UU no 39/1999 disebut dengan konsultasi)
2. Penyelidikan (enquiry). Hal ini dilakukan untuk menyeldiki latar belakang timbulnya sengketa, serta fakta-fakta)
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Arbitrasi
6. Penyelesaian melalui pengadilan.
Proses beracara dalam kasus pelanggaran HAM
Terdapat beberapa tahap dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, antara lain sebagai berikut :
 Tahap penerimaan berkas perkara
Hal-hal yang dilayani pada tahap pemeriksaan perkara, yaitu :
1. Menerima berkas perkara dari petugas yang berwenang dan lengkap dengan surat tuduhan dari jaksa.
2. Mendaftarkan perkara dalam buku register perkara
3. Member nomor register dan mengirimkan kepada panitera perkara
4. Menerima barang-barang bukti dan dicatat seteliti mungkin dalam buku register barang bukti

 Tahap persiapan
Beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap persiapan ini, yaitu sebagai berikiut :
1. Panitera perkara sebelum meneruskan berkas perkara yang baru diterimanya itu kepada ketua pengadilan negeri, terlebih dahulu mencatatnya dalam buku register untuk perkara pidana
2. Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah berkas perkara pidana diterima panitera, berkas-berkas perkara pidana itu sudah diterima oleh ketua pengadilan
3. Sesudah itu ketua pengadilan negeri mencatat dalam buku register yang ada padanya dan dipelajari agar mendapat gambaran secara garis besar duduk perkaranya kasus
4. Selambat-lambatnya 7 hari setelah diterimanya perkara tersebut, ketua/wakil ketua pengadilan negeri harus sudah menunjuk mejelis hakim untuk mengadili perkara tersebut
5. Bersamaan penunjukan majelis hakim berkas perkara diberikan kepada majelis hakim yang bersangkitan
6. Sebelum menyidangkan, ketua mejelis harus menentukan arah serta rencana pemeriksaannya setelah para hakim mempelajari berkas perkara yang bersangkutan
7. Sebelum persidangan dimulai juru sita pengganti harus mengecek dahulu apakah terdakwa, saksi, dan jaksa penuntut umum, sudah datang dan lengkap berada disidang pengadilan
8. Apabila sudah lengkap, hal ini dilaporkan kepada panitera pengganti yang bersangkutan, kemudian melaporkannya pada ketua majelis yang akan memeriksa perkara.
9. Setelah itu ketua majlis memerintahkan agar persidangan dimulai.

 Tahap penyelesaian perkara/tahap persidangan
Tahap penyelesaian perkara disidang pengadilan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat.
1. Pemeriksaan dengan acara cepat
Pemerikaan dengan acara biasa dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
a. Tahap pemanggilan
b. Tahap pembukuan dan pemeriksaan identitas terdakwa
c. Tahap pembacaan surat dakwaan
d. Tahap eksepsi
e. Tahap pembuktian
f. Tahap requisitoir (tuntutan dari jaksa penuntut)
g. Tahap pledoi
h. Tahap replik dan duplik
i. Tahap putusan

Kesimpulan
Pelanggaran HAM merupakan tindakan yang setiap hari dilakukan oleh orang-orang yang tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan. Perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepentingan dan kemauan akan sesuatu yang ingin didapatkan sehingga mengorbankan hak-hak orang lain.
Oleh karena tindakan pelanggaran HAM setiap hari terjadi diberbagai tempat dan waktu menuntut kita atau para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan pengadilan untuk mengembalikan hak-hak mereka yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Proses penyelesaian sengketa HAM biasa dilakukan dengan dua cara secara umum, antara lain litigasi dan nonlitigasi. Proses litigasi biasanya dilakukan oleh para penegak hukum atau yang disebut juga dengan catur wangsa. Mereka inilah yang mmepunyai wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggran HAM. Sedangka penyelesaian segketa secara non litigasi dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Dengan cara bagaimana pihak-pihak tersebut menyelesaikan sengketa terserah kepada orang tersebut. Baik dengan cara mediasi, negosiasi, dan dengan cara arbiter.












Saran dan rekomendasi
Dewasa ini berbagai kasus pelanggaran HAM terjadi di Indonesia, namun sampai sekarang tidak ada peradilan khusus yang mengadili tentang perkara HAM. Sampai sekarang pelanggaran tersebut masih diserahkan kepada pengadilan negeri, padahal pengadilan negeri penuh dengan kesibukan dalam mengadili perkara jual beli, utang piutang, persoalan perkawinan bagi orang non muslim dan perkara-perkara perdata lainnya.
Oleh sebab kesibukan-kesibukan tersebut sehingga perkara pelanggaran HAM diperiksa secara tidak menjamin keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu saya selaku penulis mengharap beberapa hal kepada pemerintah RI : pertama, agar pemerintah berpartisipasi dalam memberantaskan pelanggaran HAM dengan membentuk pengadilan HAM yang berada dibawah naungan mahkamah agung. Dengan demikian keadilan akan menjamin bagi pencari keadilan. Kedua, agar pemerintah membentuk UU tentang korban akibat pelanggaran yang terjadi mendapat pengobatan dari Negara, dan Negara tidak hanya mendampingi korban untuk mengadili sidang, tetapi Negara harus memberi makan kepada keluarga korban selama korban belum sembuh.












Daftar pustaka

Damanik, Jayadi, modul pelatihan mediasi berspektif HAM (cet 1 komnas HAM), Jakarta : komnas HAM, 2005.
http://papers-agungyudha.blogspot.com/2002/11/perlindungan-ham-di-indonesia-dan.html, jam 21 :29, 16-11-2011
http://mutiarakeadilan.blogspot.com/2008/02/penyelesaian-sengketa-non-litigasi.html, jam 21:54, 16-11-2011
Rusli Muhammad, potret lembaga pengadilan Indonesia (edisi 1, Jakarta, pt raja grafindo persada, 2006),
M.toar agnes dkk, seri dasar-dasar hukum ekonomi 2 arbitrase di Indonesia, ghalia Indonesia, Jakarta : 1995.
Fikri aditya, kamus lengkap bahasa Indonesia terkini
http://vegadadu.blogspot.com/2011/04/konsiliasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi
http://lalayulinurmala.blogspot.com/2007/04/pranata-alternatif-penyelesaian.html, :42, 20-11-2011.
http://www.tanyahukum.com/uncategorized/168/alternatif-penyelesaian-sengketa/, jam 5:50, 20-11-2011.

Jumat, 14 Desember 2012

Pengumuman Lelang Umum Dengan Pascakualifikasi (ILM TV)


PDF Cetak E-mail
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGUMUMAN LELANG UMUM DENGAN PASCAKUALIFIKASI
Nomor: 01/PL-KHN/10/2011

Panitia Pengadaan Barang/Jasa TV Program pada Satuan Kerja Komisi Hukum Nasional (KHN) Tahun Anggaran 2011 akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan Jasa Lainnya sebagai berikut.

1. Paket Pekerjaan
Nama paket pekerjaan : TV Program
Lingkup pekerjaan : Produksi dan Penayangan Iklan Layanan Masyarakat Komisi Hukum Nasional (KHN) di Televisi
Televisi Total HPS : Rp405.955.000.- (empat ratus lima juta sembilan ratus lima puluh lima ribu rupiah)
Sumber pendanaan : DIPA KHN Tahun Anggaran 2011

2. Persyaratan Peserta: Paket pekerjaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin kegiatan atau usaha di bidang periklanan/perfilman (pembuatan dan penayangan film);
b. memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk melaksanakan pekerjaan;
c. memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, kecuali bagi penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
d. memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
e. tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani penyedia barang/jasa;
f. memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun pajak terakhir (SPT Tahunan) Tahun 2010, SSP Pasal 25/29 Tahun 2010 dan Surat Keterangan Fiskal (Tax Clearance) Tahun 2010, serta memiliki laporan bulanan PPh Psl. 21, PPh Psl 23 (bila ada transaksi), PPh Psl 25/29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan (Juni s.d. Agustus 2011);
g. Secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengikat diri pada Kontrak;
h. Tidak masuk dalam daftar Hitam;
i. Memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa pengiriman;
j. Menandatangani Pakta Integritas.

3. Pelaksanaan Pengadaan
Tempat dan alamat :
Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Gedung II, Lantai 4, Jl. Veteran 18, Jakarta Pusat
Website :
www.komisihukum.go.id

4. Jadwal Pelaksanaan Pengadaan

NO.
KEGIATAN
TANGGAL
WAKTU
a.
Pendaftaran dan Pengambilan Dokumen Pengadaan
4 s.d. 12 Oktober 2011
Pk. 09.00 s.d. 15.00 WIB
b.
Pemberian Penjelasan
7 Oktober 2011
Pk. 10.00 s.d. selesai
c.
Pemasukan Dokumen Penawaran
10 s.d. 14 Oktober 2011
Pk. 09.00 s.d. 15.00 WIB
d.
Pembukaan Dokumen Penawaran
14 Oktober 2011
Pk. 14.00 WIB
e.
Evaluasi Penawaran
14 s.d. 19 Oktober 2011

f.
Pengumuman Pemenang
20 Oktober 2011

g.
Masa Sanggah
21 s.d. 27 Oktober 2011

h.
Penerbitan SPPBJ
28 Oktober 2011


5. Pendaftaran dan pengambilan Dokumen Pengadaan dapat diwakilkan dengan membawa surat tugas dari direktur utama/pimpinan perusahaan/kepala cabang dan kartu pengenal.
6. Seseorang dilarang mewakili lebih dari 1 (satu) perusahaan dalam mendaftar dan mengambilan Dokumen Pengadaan.
7. Dokumen Pengadaan dapat diambil dalam bentuk softcopy (dengan membawa flashdisk) di Sekretariat Panitia Pengadaan Gedung II Lantai 4, Kantor Sekretariat Negara RI Jl, Veteran 18 Jakarta Pusat, atau diunduh melalui website www.komisihukum.go.id.
8. Pelelangan ini diumumkan pula melalui website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan RI: www.lpse.depkeu.go.id.
Demikian disampaikan untuk menjadi perhatian.


Jakarta, 4 Oktober 2011

ttd
Panitia Pengadaan Barang/Jasa

Pembahasan MEngenai Perangkat desa,Dan status Honor menjadi PNS.dalam pembahasan RUU

Perangkat Desa Desak DPR Sahkan RUU Desa
Dua kubu demonstran sempat bersete

Ribuan massa dari perangkat desa gelar demo di depan Gedung DPR RI. Foto: Sgp

Gedung DPR kembali menjadi sasaran demo. Jumat (14/12), ribuan massa dari kalangan perangkat desa dari berbagai daerah di Indonesia menggelar demonstrasi di depan Gedung Wakil Rakyat itu. Mengenakan seragam serba cokelat, massa demonstran menyuarakan tuntutan agar DPR segera mengesahkan RUU Desa.
Dalam aksinya, para demonstran yang berasal dari organisasi Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI)dan Parade Nusantara, praktis membuat jalan Gatot Subroto di sekitar lingkungan Gedung DPR macet total atau bahkan lumpuh karena jalan raya diblokir. Selain memblokir jalan, massa demonstran juga sempat berupaya mendobrak pagar Gedung DPR. Tetapi, gagal.
Ketua Umum Parade Nusantara Sudir Santosomengatakan pihaknya meminta DPR memberikan kepastian waktu kapan RUU Desaakan disahkan. Dia tegaskan, RUU Desa penting untuk segera disahkan. Menurut Sudir, RUU Desa akan berkaitan dengan masalah alokasi pembangunan desa serta pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS.
Ribuan massa yang awalnya mengusung tuntutan yang sama, kemudian justru berseteru yang berujung pada kekisruhan. Unang Unarsan, Kepala Desa Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat mencoba menerangkan perbedaan tuntutan antar kedua organisasi.
"Kekisruhan tersebut disebabkan oleh perbedaan tuntutan antara Parnus dan PPDI. Parnus (Parade Nusantara) menuntut kejelasan dan kepastian akan disahkannya RUU Desa yang telah mereka ajukan ke DPR sebanyak dua kali (Februari dan Juli 2012),sedangkan PPDI menuntut jabatan perangkat desa menjadi PNS," papar Unang.
Sementara itu, seorang perangkat desa dari Parade NusantaraKuningan, Jawa Barat, Eddy Syukur mengatakan organisasinya menuntut ketetapan upah karena selama ini pendapatan sebagian perangkat desahanya berupa sebidang tanah yang disebut bengkok yang harus dikelola secara mandiri.
Selain itu, Parade Nusantara juga menuntut agar desa mendapatkan alokasi dana sebesar sepuluh persen dari APBNserta perpanjangan masa jabatan perangkat desa selama enam sampai delapan tahun.
"Demo ketiga ini merupakan tuntutan atas janji pemerintah untuk mengesahkan RUU Desa yang rencananya dipastikan pada Oktober sebagaimana dalam amanat presiden. Kami berharap kali ini pemerintah segera memutuskan dan tidak mengumbar janji," kata Eddy.
Meskipun berjalan rusuh, Pimpinan DPR masih sempat menemui para demonstran di depan Gedung DPR. Setelah diajak ke dalam Gedung DPR, Ketua DPR Marzuki Alie menjelaskan posisi RUU Desa yang tengah dibahas.Saat ini, RUU tersebut masuk dalam Prolegnastahun 2013 dengan nomor urut 27. Tidak lama setelah bertemu demonstran, Marzuki langsung memimpin sidang paripurna.
“Adalah naif sekali kalau hanya memperjuangkan status dan perangkat desa. Kalau kita bicara perangkat desa, termasuk semuanya. Itu intinya,” ujarMarzuki dalam sidang paripurna.
Menurut dia, RUU Desa harus berorientasi pada kesejahteraan desa secara keseluruhan. Tidak terbatas hanya pada perangkat desa. Nantinya, lanjut dia, RUU Desa disahkan kesejahteraan perangkat desa tentunya akan kena dampak positifnya.
“Persoalan status PNS tergantung dinamika antara DPR dengan pemerintah. Intinya mereka dapat menerima penjelasan saya. Saya turun ke sana karena mereka menutup jalan,” katanya.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan pengesahan RUU Desa bukan hanya bertumpu pada DPR, tetapi juga pemerintah. Makanya, dia berharap Menteri Dalam Negeri segera merespon aspirasi para perangkat desa.
“Saya berharap dengan kondisi seperti ini Pak Mendagri melihat dan mudah-mudahan apa yang disampaikan oleh para perangkat desa diakomodir oleh Pak Mendagri,” kata politisi PAN itu.


Sumber:Hukum Online...

Mengenai Wilayah Keberlakuan Fatwa Waris Pengadilan Agama

1. Syarat permohonan fatwa waris di Pengadilan Agama 2. Keputusan fatwa waris di salah satu pengadilan Agama, apakah berlaku untuk pengurusan harta yang ada di daerah lain?


Jawaban:

1.    Sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel Fatwa Waris Sebagai Bukti Kelengkapan Jual Beli Tanah Warisan, Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan Fatwa atau penetapan mengenai Pembagian Harta Peninggalan seorang pewaris yang beragama Islam. Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Fatwa Waris berlaku sebagai keterangan siapa saja yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan si Pewaris (ahli waris). Berdasarkan Fatwa Waris tersebut, Notaris/PPAT dapat menentukan siapa saja yang berhak untuk menjual tanah warisan dimaksud.
Kemudian, mengenai Syarat untuk Pengajuan Fatwa Waris dijelaskan di dalam laman resmi Pengadilan Agama Bulukumba, yaitu:
1.    Surat Permohonan yang ditujukan kepada Kepala Pengadilan Agama
2.    Membayar Panjar Biaya Perkara di Kantor Pengadilan Agama
3.    Foto copy KTP Para pihak (bermaterai 6000, cap pos)
4.    Foto copy sertifikat hak milik (bermaterai 6000, cap pos)
5.    Foto copy bukti kepemilikan lainnya (kalau ada), seperti: buku tabungan, akta notaris, dll (bermaterai 6000, cap pos)
6.    Foto copy akta/surat kematian pemilik barang yang diwarisi (bermaterai 6000, cap pos)
7.    Foto copy akta/surat kelahiran para pewaris (bermaterai 6000, cap pos)
8.    Silsilah keluarga yang disahkan oleh Kepala Desa
9.    surat keterangan/pengantar dai Kepala Desa (bermaterai 6000, cap pos)
2.    Fatwa waris dari salah satu pengadilan agama dapat dipergunakan untuk pengurusan seluruh harta peninggalan pewaris di dalam wilayah Republik Indonesia. Fatwa Waris tersebut memang merupakan bukti kelengkapan untuk proses pengurusan baik itu jual beli/peralihan hak atas tanah warisan dimaksud. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c butir 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kelengkapan data lainnya untuk proses jual beli tersebut bisa dibaca di dalam artikel Jual Beli dan Balik Nama Sertifikat.
Catatan: Jawaban pertanyaan tersebut ada pula penjelasannya di buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS, karya: Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah





Selasa, 11 Desember 2012

Diakui tapi tidak di perbaiki

JAKARTA--MICOM: Kualitas proses legislasi mengalami penurunan. UU tidak dapat menunjukkan konsistensi kebijakan politik.

Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menganggap penyelesaian legislasi belum mengalami peningkatan.

UU yang dikeluarkan DPR dan pemerintah tidak mendapat perhatian penuh.

"Ini berakar pada permasalahan di internal DPR dan pemerintah. Keduanya mengalami kelambanan, dan itu sudah diakui keduabelah pihak," ujar Ronald, Minggu (18/12).

Ia menyatakan DPR terjebak dalam konflik kepentingan setiap kali membahas perundangan.

Konflik kepentingan ini hampir seragam, yakni saling mencurigai antar fraksi.

Alhasil, mutu perundangan tidak dapat mewakili kebijakan politik yang mereka inginkan. UU yang dihasilkan hanya menjadi kompromi politik.

Ia mencontohkan dalam setiap perundangan DPR selalu berinisiatif membuat lembaga adhoc.

Misalnya dalam UU Bantuan Hukum, UU Rumah Susun, UU Pembalakan Hutan Liar, dan UU Pengelolaan Zakat.

"Padahal mereka sendiri sebelumnya menginginkan perampingan lembaga. Tetapi toh lembaga semacam ini selalu muncul dalam pembahasan UU baru,"